Sabtu, 12 September 2015

IMPIAN



Sinar mentari pagi menyinari kamar tidurku lewat jendela berwarna cokelat tua itu. Kicauan nyaring dari burung-burung pun menyapa pagiku. Secara perlahan aku membuka kedua mata dan mensyukuri anugerah yang masih  Tuhan limpahkan kepadaku. “Chikaaaa !!” teriak seorang wanita yang paling hebat dihidupku. Ya, dia adalah ibuku. Setiap pagi aku selalu dibangunkan olehnya, selalu dibuatkan sarapan olehnya, juga selalu diberi senyum termanisnya. Senyumnya menghilangkan segala kepenatan diragaku.
“Chika Kristina” adalah nama indah yang telah diberikan oleh ibu dan ayahku. 17 tahun sudah ibu membesarkan aku dan kakakku “Olivia” didunia yang besar ini. Ya, ayahku sudah meninggal dunia sebulan setelah aku lahir ke dunia ini. Dia mengalami serangan jantung karena perusahaan mainan milik keluarga kami harus gulung tikar. Ibu berkata bahwa kehidupan kami berubah drastis setelah ayah meninggal. Dulu kami termasuk keluarga yang hidup dalam kemewahan.  Namun setelah ayah pergi, rumah dan semua mobil harus dijual untuk dapat menghidupi aku dan kak Oliv.
“Kak Oliv .. Berangkat bareng, yuk !!” Ungkapku yang sedang mengikat tali sepatuku. “Kalau kamu mau, pergi aja sendiri !!” balasnya ketus. Kak Olivia memang tak pernah menyukaiku karena dia menganggap bahwa aku adalah anak pembawa sial. Dia berkata bahwa kelahiranku membawa sial bagi keluarga kami sehingga ayah meninggal. Ya, aku tidak pernah memasukkan perkataan kak Oliv kedalam hati. Walaupun Dia membenciku, tetapi aku sangat menyayanginya. Aku duduk di kelas XI sedangkan kak Oliv sudah kelas XII. Ini adalah bulan terakhir kak Oliv berada disekolah ini. Dia ingin melanjutkan sekolahnya ke universitas diluar kota. Maka dari itu, sepulang sekolah kak Oliv tidak langsung pulang kerumah. Dia bekerja sebagai guru privat untuk pelajaran bahasa Inggris dan matematika. Dia ingin menabung untuk biaya kuliahnya kelak.
Memikirkan tentang masa depan, aku bahkan belum tahu akan kuliah dimana aku nantinya. Akankah aku kuliah diluar kota seperti kakakku? Ataukah aku harus menemani ibu digubuk kecil ini? “Impian” adalah kata yang cukup buruk bagiku. Sampai saat ini, aku belum memiliki impian yang benar-benar aku impikan. Tapi, aku pernah memiliki keinginan untuk menjadi dokter jantung agar aku dapat menolong orang-orang yang seperti ayah. Namun jika aku melanjutkan pendidikanku di jurusan kedokteran, itu akan menghabiskan banyak biaya. Akhirnya, ku putuskan untuk kerja paruh waktu disebuah kafe. Setiap hari sepulang sekolah aku mengganti pakaianku dan mulai bekerja dikafe tersebut hingga pukul 18.00 wib. Disaat aku sedang melayani dua orang gadis yang kira-kira sebaya denganku, secara tidak sengaja aku mendengar perbincangan mereka tentang universitas dengan jurusan kedokteran yang bagus diluar kota. Mereka berkata bahwa seluruh administrasinya mencapai puluhan juta, namun jika mendapat beasiswa akan mendapat keringanan biaya. Ya! Mengapa aku tidak memikirkan beasiswa sebelumnya? Aku memang bukan murid yang pintar, tapi aku akan belajar keras agar mendapatkannya. Ini belum terlambat! Aku masih duduk di kelas XI. Dan aku tidak akan memberatkan beban ibu lagi.
Hari berganti bulan. Kini kak oliv sudah tidak disekolah ini lagi. Bicara masalah jurusan, kak oliv sangat mendambakan untuk dapat kuliah di jurusan informatika. Kak oliv berbeda denganku, dia memiliki otak yang cerdas. Maka dari itu, tanpa belajar keras pun, dia dapat memperoleh beasiswa untuk kuliah di universitas yang bagus diluar kota. Aku sangat iri padanya, dia nyaris sempurna. Beranjak dari cerita hidup kak Olivia, sekarang hanya ada aku dan perjuanganku untuk mencapai apa yang menjadi impianku.
Hari-hari ku lewati dengan senyuman walaupun banyak beban dibalik senyum tersebut. Pagi hari aku bersekolah, siang hingga sore hari aku kerja paruh waktu, dan malam waktunya untuk membantu ibu menyetrika pakaian-pakaian yang dicuci oleh ibu. Ibu adalah seorang buruh cuci didesaku ini. Tetangga banyak yang menitipkan cucian mereka pada ibu. Jadi, jika aku tidak memiliki tugas, aku harus membantu ibu setiap malam. Jadi, kapan waktuku untuk belajar? Ya, aku belajar hanya saat di sekolah. Namun jika ada kesempatan, terkadang aku juga membuka buku ku di kafe tempat aku bekerja paruh waktu.
Bulan berganti tahun. Inilah saat-saat mendekati ujian nasional. Aku hanya berharap agar aku mendapat nilai yang bagus dan dapat memperoleh beasiswa yang ada di universitas impianku tersebut. Kini aku semakin giat bekerja dan juga belajar, hingga akhirnya aku jatuh sakit sehari sebelum ujian nasional berlangsung. Ku coba untuk meminum obat penurun demam, namun tak berhasil juga. Tibalah saatnya ujian nasional. Tak mau kalah dengan sakitku, aku pun berangkat ke sekolah dengan wajah pucat. Semua teman-temanku hanya bisa melihat aku yang lemas memasuki ruang ujian. Dengan penuh keyakinan ku buka soal itu dan mencoba menjawabnya dengan membuat bulatan-bulatan yang rapi diatas kertas jawaban itu. Rasanya seluruh badanku sudah menggigil, namun aku tidak boleh kalah dengan sakit ringan ini. Akhirnya selesailah ujian nasional untuk hari ini. Demam yang tak kunjung turun ini pun selalu bersamaku selama ujian nasional.
Setelah selesai ujian nasional hari terakhir, aku pergi ke dokter disebuah puskesmas untuk memeriksakan keadaanku yang tak kunjung membaik ini. Setelah dokter tersebut memeriksaku, dia menyuruhku untuk periksa ke rumah sakit. Akhirnya aku pun periksa disebuah rumah sakit dikotaku yang hasil labnya bertuliskan bahwa aku positif demam berdarah. Aku bertanya kepada dokter “Dok, mengapa tidak ada gejala-gejala lain terjadi pada saya seperti bintik-bintik merah di kulit?” Lalu dokter tersebut menjawab “Tidak semua kasus demam berdarah menimbulkan bintik-bintik merah, ada juga beberapa kasus yang kami temui bahwa gejalanya hanya deman biasa saja namun berkepanjangan.” “Jadi bagaimana ini, Dokter? Apakah penyembuhan dari demam berdarah ini akan berlangsung lama? Karena saya memiliki rencana dibulan ini, dok!” Ungkapku dengan penuh eksresi kepanikan. “Untuk pemulihannya sendiri, kita memerlukan waktu sekitar satu sampai dua minggu, karena kamu juga harus banyak istirahat. Kamu tidak boleh terlalu memaksakan dirimu untuk bekerja keras. Dalam hal ini, kamu harus istirahat dari pekerjaan dan juga aktivitas yang melelahkan otak yaitu dengan belajar terlalu keras. Dan untuk beberapa hari ini, kamu harus dirawat disini. Selamat beristirahat.” Kata sang dokter sembari mengambil stetoskopnya yang terletak dimeja didalam ruangan rawat-inapku. Akhirnya ku telepon ibu dan ibu langsung datang kerumah sakit. Tiga hari pun kulalui dirumah sakit ini, tanpa membuka bukuku. Ini membuatku khawatir tidak dapat memperoleh beasiswa tersebut. Untuk membayar administrasi rumah sakit ini, ibu menggunakan uang dari tabunganku yang sudah kutabung selama ini dari kerja paruh waktuku. Akhirnya uang tabunganku tersebut hanya tinggal setengahnya lagi.
Sepulang dari rumah sakit, aku melakukan aktivitasku seperti biasanya. Ya, bekerja dan belajar keras. Sekarang aku mengambil pekerjaan tambahan. Aku mengajar privat untuk anak SD dimalam hari, dan bekerja di kafe biasa dari siang hingga sore hari. Aku memiliki waktu belajar hanya disaat pagi hari. Itu pun aku juga harus membantu ibu mencuci pakaian.
Kini, tiba saatnya untuk tes memasuki universitas tersebut. Dengan segala kerja kerasku selama ini, aku melewati ujian tulis dengan sempurna. Dan kini, tiba saatnya wawancara. Segala pertanyaan yang dipaparkan kepadaku, ku jawab dengan sepengetahuanku. Aku tidak tau apakah yang kujawab sudah memuaskan atau belum. Dan pengumumannya akan keluar satu minggu kedepan. Seminggu kemudian, tibalah saatnya melihat pengumumannya. Aku mencari-cari namaku di pengumuman yang tertera diinternet. Kucari namaku di layar cembung komputer diwarnet (warung internet) tersebut, namun tidak ada.  Aku pun kecewa, ternyata kerja kerasku selama ini tidak menghasilkan apa-apa dan aku pasti akan mengecewakan ibu. Aku pun pulang kerumah dengan wajah murung. Dengan penuh semangat ibu menyambut “Mengapa kamu sedih, nak? Bagaimana hasil tesnya?” Dengan mata berkaca-kaca, aku memeluk ibu dan berkata “Maafkan aku, bu. Aku sudah gagal! Tidak ada namaku disana, bu.” Lalu ibu melepaskan pelukannya dan tersenyum “Tidak apa-apa.. Ibu sangat bangga padamu, sayang.  Dan sebenarnyaaaa..” Ibu tersenyum dan memberiku sebuah amplop besar berwana cokelat. Ku buka amplop tersebut dan menitikkan air mataku. Ternyata itu adalah pemberitahuan bahwa aku berhasil mendapatkan beasiswa di jurusan kedokteran itu!! “Ibuuuuuuuu!!!” Teriakku sambil memeluk ibu.
*** Lima Tahun Kemudian ***
            Setelah lima tahun berlalu, akhirnya kak Oliv sudah bekerja di sebuah perusahaan di Singapura.  Dan ibu sudah tidak bekerja sebagai buruh cuci lagi. Setiap bulan kak Oliv mengirim uang untuk biaya hidup ibu. Kini aku sudah mengenakan jubah putih dengan stetoskop yang selalu berada di saku jubah tersebut. Dan kini aku kembali dari perantauanku. Ku pijakkan kakiku didesa ini, desa dimana aku dibesarkan hingga aku dapat meraih IMPIANKU seperti saat ini. Jika suatu saat nanti aku akan pergi dari sini, tak akan ku lupakan semua suka duka yang telah kulewati disini. Didesa ini aku mengenal diriku, aku menata hidupku, dan aku menatap masa depanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar