Sinar
mentari pagi menyinari kamar tidurku lewat jendela berwarna cokelat tua itu.
Kicauan nyaring dari burung-burung pun menyapa pagiku. Secara perlahan aku
membuka kedua mata dan mensyukuri anugerah yang masih Tuhan limpahkan kepadaku. “Chikaaaa !!”
teriak seorang wanita yang paling hebat dihidupku. Ya, dia adalah ibuku. Setiap
pagi aku selalu dibangunkan olehnya, selalu dibuatkan sarapan olehnya, juga
selalu diberi senyum termanisnya. Senyumnya menghilangkan segala kepenatan
diragaku.
“Chika
Kristina” adalah nama indah yang telah diberikan oleh ibu dan ayahku. 17 tahun
sudah ibu membesarkan aku dan kakakku “Olivia” didunia yang besar ini. Ya,
ayahku sudah meninggal dunia sebulan setelah aku lahir ke dunia ini. Dia
mengalami serangan jantung karena perusahaan mainan milik keluarga kami harus
gulung tikar. Ibu berkata bahwa kehidupan kami berubah drastis setelah ayah
meninggal. Dulu kami termasuk keluarga yang hidup dalam kemewahan. Namun setelah ayah pergi, rumah dan semua
mobil harus dijual untuk dapat menghidupi aku dan kak Oliv.
“Kak
Oliv .. Berangkat bareng, yuk !!” Ungkapku yang sedang mengikat tali sepatuku.
“Kalau kamu mau, pergi aja sendiri !!” balasnya ketus. Kak Olivia memang tak
pernah menyukaiku karena dia menganggap bahwa aku adalah anak pembawa sial. Dia
berkata bahwa kelahiranku membawa sial bagi keluarga kami sehingga ayah
meninggal. Ya, aku tidak pernah memasukkan perkataan kak Oliv kedalam hati.
Walaupun Dia membenciku, tetapi aku sangat menyayanginya. Aku duduk di kelas XI
sedangkan kak Oliv sudah kelas XII. Ini adalah bulan terakhir kak Oliv berada
disekolah ini. Dia ingin melanjutkan sekolahnya ke universitas diluar kota. Maka
dari itu, sepulang sekolah kak Oliv tidak langsung pulang kerumah. Dia bekerja
sebagai guru privat untuk pelajaran bahasa Inggris dan matematika. Dia ingin
menabung untuk biaya kuliahnya kelak.
Memikirkan
tentang masa depan, aku bahkan belum tahu akan kuliah dimana aku nantinya.
Akankah aku kuliah diluar kota seperti kakakku? Ataukah aku harus menemani ibu
digubuk kecil ini? “Impian” adalah kata yang cukup buruk bagiku. Sampai saat
ini, aku belum memiliki impian yang benar-benar aku impikan. Tapi, aku pernah
memiliki keinginan untuk menjadi dokter jantung agar aku dapat menolong
orang-orang yang seperti ayah. Namun jika aku melanjutkan pendidikanku di
jurusan kedokteran, itu akan menghabiskan banyak biaya. Akhirnya, ku putuskan
untuk kerja paruh waktu disebuah kafe. Setiap hari sepulang sekolah aku
mengganti pakaianku dan mulai bekerja dikafe tersebut hingga pukul 18.00 wib.
Disaat aku sedang melayani dua orang gadis yang kira-kira sebaya denganku,
secara tidak sengaja aku mendengar perbincangan mereka tentang universitas
dengan jurusan kedokteran yang bagus diluar kota. Mereka berkata bahwa seluruh
administrasinya mencapai puluhan juta, namun jika mendapat beasiswa akan
mendapat keringanan biaya. Ya! Mengapa aku tidak memikirkan beasiswa sebelumnya?
Aku memang bukan murid yang pintar, tapi aku akan belajar keras agar
mendapatkannya. Ini belum terlambat! Aku masih duduk di kelas XI. Dan aku tidak
akan memberatkan beban ibu lagi.
Hari
berganti bulan. Kini kak oliv sudah tidak disekolah ini lagi. Bicara masalah
jurusan, kak oliv sangat mendambakan untuk dapat kuliah di jurusan informatika.
Kak oliv berbeda denganku, dia memiliki otak yang cerdas. Maka dari itu, tanpa
belajar keras pun, dia dapat memperoleh beasiswa untuk kuliah di universitas
yang bagus diluar kota. Aku sangat iri padanya, dia nyaris sempurna. Beranjak
dari cerita hidup kak Olivia, sekarang hanya ada aku dan perjuanganku untuk
mencapai apa yang menjadi impianku.
Hari-hari
ku lewati dengan senyuman walaupun banyak beban dibalik senyum tersebut. Pagi
hari aku bersekolah, siang hingga sore hari aku kerja paruh waktu, dan malam
waktunya untuk membantu ibu menyetrika pakaian-pakaian yang dicuci oleh ibu.
Ibu adalah seorang buruh cuci didesaku ini. Tetangga banyak yang menitipkan
cucian mereka pada ibu. Jadi, jika aku tidak memiliki tugas, aku harus membantu
ibu setiap malam. Jadi, kapan waktuku untuk belajar? Ya, aku belajar hanya saat
di sekolah. Namun jika ada kesempatan, terkadang aku juga membuka buku ku di
kafe tempat aku bekerja paruh waktu.
Bulan
berganti tahun. Inilah saat-saat mendekati ujian nasional. Aku hanya berharap
agar aku mendapat nilai yang bagus dan dapat memperoleh beasiswa yang ada di
universitas impianku tersebut. Kini aku semakin giat bekerja dan juga belajar,
hingga akhirnya aku jatuh sakit sehari sebelum ujian nasional berlangsung. Ku
coba untuk meminum obat penurun demam, namun tak berhasil juga. Tibalah saatnya
ujian nasional. Tak mau kalah dengan sakitku, aku pun berangkat ke sekolah
dengan wajah pucat. Semua teman-temanku hanya bisa melihat aku yang lemas
memasuki ruang ujian. Dengan penuh keyakinan ku buka soal itu dan mencoba
menjawabnya dengan membuat bulatan-bulatan yang rapi diatas kertas jawaban itu.
Rasanya seluruh badanku sudah menggigil, namun aku tidak boleh kalah dengan
sakit ringan ini. Akhirnya selesailah ujian nasional untuk hari ini. Demam yang
tak kunjung turun ini pun selalu bersamaku selama ujian nasional.
Setelah
selesai ujian nasional hari terakhir, aku pergi ke dokter disebuah puskesmas
untuk memeriksakan keadaanku yang tak kunjung membaik ini. Setelah dokter
tersebut memeriksaku, dia menyuruhku untuk periksa ke rumah sakit. Akhirnya aku
pun periksa disebuah rumah sakit dikotaku yang hasil labnya bertuliskan bahwa
aku positif demam berdarah. Aku bertanya kepada dokter “Dok, mengapa tidak ada
gejala-gejala lain terjadi pada saya seperti bintik-bintik merah di kulit?”
Lalu dokter tersebut menjawab “Tidak semua kasus demam berdarah menimbulkan
bintik-bintik merah, ada juga beberapa kasus yang kami temui bahwa gejalanya
hanya deman biasa saja namun berkepanjangan.” “Jadi bagaimana ini, Dokter?
Apakah penyembuhan dari demam berdarah ini akan berlangsung lama? Karena saya
memiliki rencana dibulan ini, dok!” Ungkapku dengan penuh eksresi kepanikan.
“Untuk pemulihannya sendiri, kita memerlukan waktu sekitar satu sampai dua
minggu, karena kamu juga harus banyak istirahat. Kamu tidak boleh terlalu
memaksakan dirimu untuk bekerja keras. Dalam hal ini, kamu harus istirahat dari
pekerjaan dan juga aktivitas yang melelahkan otak yaitu dengan belajar terlalu
keras. Dan untuk beberapa hari ini, kamu harus dirawat disini. Selamat
beristirahat.” Kata sang dokter sembari mengambil stetoskopnya yang terletak
dimeja didalam ruangan rawat-inapku. Akhirnya ku telepon ibu dan ibu langsung
datang kerumah sakit. Tiga hari pun kulalui dirumah sakit ini, tanpa membuka
bukuku. Ini membuatku khawatir tidak dapat memperoleh beasiswa tersebut. Untuk
membayar administrasi rumah sakit ini, ibu menggunakan uang dari tabunganku
yang sudah kutabung selama ini dari kerja paruh waktuku. Akhirnya uang
tabunganku tersebut hanya tinggal setengahnya lagi.
Sepulang
dari rumah sakit, aku melakukan aktivitasku seperti biasanya. Ya, bekerja dan
belajar keras. Sekarang aku mengambil pekerjaan tambahan. Aku mengajar privat
untuk anak SD dimalam hari, dan bekerja di kafe biasa dari siang hingga sore
hari. Aku memiliki waktu belajar hanya disaat pagi hari. Itu pun aku juga harus
membantu ibu mencuci pakaian.
Kini,
tiba saatnya untuk tes memasuki universitas tersebut. Dengan segala kerja
kerasku selama ini, aku melewati ujian tulis dengan sempurna. Dan kini, tiba
saatnya wawancara. Segala pertanyaan yang dipaparkan kepadaku, ku jawab dengan
sepengetahuanku. Aku tidak tau apakah yang kujawab sudah memuaskan atau belum.
Dan pengumumannya akan keluar satu minggu kedepan. Seminggu kemudian, tibalah
saatnya melihat pengumumannya. Aku mencari-cari namaku di pengumuman yang
tertera diinternet. Kucari namaku di layar cembung komputer diwarnet (warung
internet) tersebut, namun tidak ada. Aku
pun kecewa, ternyata kerja kerasku selama ini tidak menghasilkan apa-apa dan
aku pasti akan mengecewakan ibu. Aku pun pulang kerumah dengan wajah murung.
Dengan penuh semangat ibu menyambut “Mengapa kamu sedih, nak? Bagaimana hasil
tesnya?” Dengan mata berkaca-kaca, aku memeluk ibu dan berkata “Maafkan aku,
bu. Aku sudah gagal! Tidak ada namaku disana, bu.” Lalu ibu melepaskan
pelukannya dan tersenyum “Tidak apa-apa.. Ibu sangat bangga padamu, sayang. Dan sebenarnyaaaa..” Ibu tersenyum dan
memberiku sebuah amplop besar berwana cokelat. Ku buka amplop tersebut dan
menitikkan air mataku. Ternyata itu adalah pemberitahuan bahwa aku berhasil
mendapatkan beasiswa di jurusan kedokteran itu!! “Ibuuuuuuuu!!!” Teriakku
sambil memeluk ibu.
*** Lima Tahun Kemudian
***
Setelah lima tahun berlalu, akhirnya kak Oliv sudah
bekerja di sebuah perusahaan di Singapura.
Dan ibu sudah tidak bekerja sebagai buruh cuci lagi. Setiap bulan kak
Oliv mengirim uang untuk biaya hidup ibu. Kini aku sudah mengenakan jubah putih
dengan stetoskop yang selalu berada di saku jubah tersebut. Dan kini aku
kembali dari perantauanku. Ku pijakkan kakiku didesa ini, desa dimana aku
dibesarkan hingga aku dapat meraih IMPIANKU seperti saat ini. Jika suatu saat
nanti aku akan pergi dari sini, tak akan ku lupakan semua suka duka yang telah
kulewati disini. Didesa ini aku mengenal diriku, aku menata hidupku, dan aku
menatap masa depanku.